Saturday, January 5, 2019

Mengenal Keilmuan Paleontologi

Paleontologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai fosil makhluk hidup yang sekurang-kurangnya berusia 11.700 tahun yang lalu. Diambil dari bahasa Yunani Kuno yaitu παλαιός, palaios, yang berarti "tua, kuno", ὄν, on (ontos), yang berarti "benda, makhluk" dan λόγος, logos, yang berarti "amanat, pembelajaran, belajar" Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, paleontologi/pa·le·on·to·lo·gi/ /paléontologi/ n, berarti ilmu tentang fosil (binatang dan tumbuhan); -- bahasa penyelidikan mengenai segi-segi kebudayaan yang buktinya dapat ditemukan dalam bahasa.

Seorang paleontologis memecahkan batu untuk mencari fosil.
(National Park Service Photo Archive/Wikimedia Commons)
Dasar keilmuan Paleontologi pertama kali dicetuskan oleh seorang filsuf dari Yunani bernama Xenophanes (570-460 Sebelum Masehi) yang menemukan dan melihat fosil kerang laut di kawasan tebing pantai. Kemudian di Abad Pertengahan, Avicenna atau Ibnu Sina, cendekiawan Muslim mendiskusikan dan mengajukan teori tentang lapisan tanah yang membatu, menguraikan teori serupa lainnya yang dikemukakan oleh Albert Saxony pada abad ke-14. Sebelumnya, cendekiawan Kekaisaran Tiongkok, Shen Kuo (1031-1095) mengemukakan teori perubahan iklim yang membuat sebatang bambu membatu. Kemudian pada masa Renaissance di Eropa, Leonardo Da Vinci berkontribusi menemukan banyak fosil. Menyusul kemudian di abad ke-18, George Cuvier menemukan banyak fosil hewan purba yang kemudian dirangkai dan disusun dalam jurnal ilmiah. Setelah terbitnya jurnal ilmiah karya George Cuvier, membuat antusiasme para cendekiawan dan ilmuwan dalam memburu fosil meningkat, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat. Istilah Paleontologi pertama kali dicetuskan oleh Henri Marie Ducrotay de Blanville, editor Journal de Physique, pada tahun 1822. Hingga kini, Paleontologi menjadi salah satu disiplin ilmu favorit di Eropa, Amerika Serikat, Thailand, Tiongkok, Australia India dan Jepang.

Sketsa tulang rahang Gajah Asia (atas) dengan fosil Mammoth (bawah)
(George Cuvier/Wikimedia Commons)
Disiplin keilmuan Paleontologi terletak diantara disiplin ilmu Biologi dan Geologi. Memiliki percabangan keilmuan yaitu Paleobotani, yang mempelajari fosil tumbuhan purba; Paleonthografi, yang mempelajari teknik menyusun dan mengidentifikasi fosil makhluk hidup dan Paleogenetika, yang mempelajari hubungan genetika antar fosil makhluk hidup yang ditemukan. Disiplin ilmu Paleontologi berbeda dengan Arkeologi, karena disiplin ilmu Arkeologi menitikberatkan pada peninggalan peradaban manusia pada masa lampau. Di masa kini, keilmuan Paleontologi digunakan juga untuk melakukan kajian imbas perubahan iklim dan pergeseran lempeng benua yang mempengaruhi kehidupan peradaban manusia, berdasarkan temuan fosil purba.

Seorang paleontologis sedang mengurai fosil Europasaurus holgeri.
(Nils Knötschke/Wikimedia Commons)


Paleontologi di Indonesia

Di Indonesia, keilmuan Paleontologi dirintis oleh Raden Saleh (1814-1880), pelukis kerajaan Belanda yang memiliki minat terhadap dunia kepurbakalaan. Beliau tercatat bergabung dengan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) dari tahun 1853 hingga 1875, kemudian menjadi anggota kehormatan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) sejak 1866, dan anggota Natuurkundig Vereeniging in Nederlandsch-Indie sejak 1870. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1865, Raden Saleh mengajukan ijin kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) ekspedisi keliling Jawa untuk mengumpulkan temuan arkeologis dan naskah kuno yang dimiliki oleh bangsawan Jawa. Gayung bersambut, pada tanggal 24 Mei 1865, Pemerintah Hindia Belanda melalui BGKW mengeluarkan Gouvernements Besluit yang berisi keputusan menerima usulan Raden Saleh. Akhirnya, antara 1865-1866, Raden Saleh melakukan ekspedisi di Pulau Jawa.

Foto potret Raden Saleh.
(Woodbury & Page/Wikimedia Commons)
Pada bulan Desember 1865, Raden Saleh mulai melakukan penggalian fosil. Lokasi pertama yang menjadi titik penggalian adalah situs Banyunganti, Kabupaten Sentolo, Jawa Tengah (sekarang masuk wilayah Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta). Beliau menggali lubang sedalam 8 kaki dan mendapatkan sebuah tulang belakang sepanjang 18 kaki, lengkap dengan tulang-tulang rusuk. Dalam surat bertanggal Yogyakarta, 27 Desember 1865, yang ditujukan kepada A. Loudon, Presiden BGKW, Raden Saleh melaporkan tulang rusuk itu lebarnya 4,5 inci, panjangnya 6-7 inci, dan tebalnya 2 inci.

Dewan BGKW kemudian meminta Raden Saleh untuk mengirimkan fosil temuannya kepada Natuurkundig Vereeniging in Nederlandsch Indie (Himpunan Ilmu-ilmu Alam di Hindia Belanda) agar segera bisa dipelajari oleh ahli paleontologi di Belanda. BGKW pun meminta Raden Saleh untuk mempertahankan bentuk asli fosil tulang rusuk itu. Untuk itu, Raden Saleh memberi nomor dan menunjukkan posisi masing-masing tulang dalam sketsa. Dalam rapat pengurus BGKW bertanggal 27 Januari 1866 diketahui bahwa di Banyunganti, Raden Saleh pun menemukan sejumlah gigi dari binatang yang sama. Menurut laporan Raden Saleh, gigi-gigi tersebut merujuk kepada jenis hiu purba yang bernama Carcharodon megalodon.

Lokasi kedua yang dituju Raden Saleh adalah Kalisono, sekitar 11 kilometer dari Banyunganti. Di sini, Raden Saleh menemukan bagian kepala fosil, sejumlah tulang rusuk, tiga buah gigi, dan seekor siput laut yang telah menjadi fosil. Pada lokasi ketiga penggaliannya, Raden Saleh hanya menemukan dua persendian tulang, mengingat lokasinya sulit karena berbentuk batu-batu besar dan terletak di bawah rumah penduduk. Namun, karena hendak melanjutkan perjalanannya ke arah timur, Raden Saleh meminta Patih Yogyakarta untuk melanjutkan penggalian fosil. Patih ini mewakilkan kepada anak keduanya, R.T. Gondo Atmodjo untuk melakukan penggalian fosil di Gunung Plawangan. Di sini, tim Gondo Atmodjo menemukan dua persendian dan satu gigi fosil.

Selanjutnya, Raden Saleh melakukan penggalian di Dukuh Kedunglembu, Pegunungan Pandan, sekitar 15 kilometer dari Caruban, Madiun, Jawa Timur. Di sini Raden Saleh menemukan sejumlah gigi geraham yang diperkirakannya sebagai gigi Mastodon dan sebuah gigi yang terserak. Enam kilometer dari sana, ia menemukan sepotong tulang dan fosil-fosil lainnya. Temuan-temuan itu dilaporkan oleh Raden Saleh dalam tulisannya, “Over fossiele beenderen van den Pandan” (Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, vol 29, 1867). Fosil-fosil temuan Raden Saleh kemudian dikirim ke Leiden, Belanda. Keseluruhan hasil penemuan tersebut bersama dengan fosil-fosil temuan FW Junghuhn (1809-1864). Keahlian Raden Saleh dalam bidang paleontologi kemudian diakui oleh pakar-pakar paleontologi, seperti Eugene Dubois (1858-1940), L.J.C van Es, R. Lydekker dan G.H.R. von Koenigswald (1902-1982). Raden Saleh layak digelari pribumi Indonesia pertama yang menggeluti bidang paleontologi dan pantas mendapatkan gelar Bapak Paleontologi Vertebrata Indonesia

Di masa kini, sejumlah kampus di Indonesia membuka jurusan Paleontologi, sepetti Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat; Universitas Gadjah Mada di Daerah Istimewa Yogyakarta; Universitas Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan; Universitas Jambi di Jambi; Universitas Halu Oleo di Sulawesi Tenggara dan Universitas Udayana di Bali. Bagi pembaca yang berminat menekuni dan mempelajari dunia kepurbakalaan, bisa mendaftar dan ikut Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) atau Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) di keenam universitas tersebut,

No comments:

Post a Comment

Semua komentar merupakan tanggungjawab komentator dan pengelola tidak bertanggungjawab atas tuntutan dengan UU ITE. Berkomentar dengan bijak dan sopan.