Salah satu pencapaian terbesar dalam evolusi Paus adalah keberadaan organ pemancar gelombang ultrasonik alami, yang berguna sebagai ekolokasi untuk memburu mangsa, berkomunikasi dan menghindari halang-rintang bawah laut, yang gelap dan memiliki jarak pandang terbatas. Bagaimana organ ekolokasi ini tercipta dalam tubuh mamalia laut raksasa ini, dan berevolusi sedemikian rupa hingga ditiru manusia untuk diterapkan dalam teknologi modern?.
Paus Bungkuk (Megaptera novaeangliae) terkenal akan suara ekolokasi yang khas (Wikimedia Commons) |
Gelombang ultrasonik mamalia laut yang masuk dalam ordo Cetacea ini, muncul dari organ bernama Melon, terletak di bagian paling depan tengkorak, berbentuk seperti bulatan sempurna mirip buah melon, yang terbuat dari jaringan adiposa, lemak dan lapisan lilin alami. Beberapa jenis Paus Bergigi seperti suku Delphinidae (Lumba-lumba, Paus Orca & Pesut) dan Physeteroidea (Paus Sperma) memiliki lapisan lilin dan lemak yang banyak dalam organ Melon, sedangkan suku Monodontidae (Paus Beluga dan Paus Narwhal) memiliki jumlah lapisan lilin dan lemak yang sedikit dalam organ Melon, dan Paus Pilot (Globicephala) memiliki lapisan lilin 33% dan 5% lapisan lemak dalam organ Melon. Sementara daya pancar gelombang ultrasonik, yang terlemah berasal dari suku Delphinidae, Phocoenidae dan Monodontidae, sementara yang menengah adalah suku Ziphiidae (Paus berparuh), dan yang terkuat berasal dari suku Physeteridae & Platanistidae (Lumba-lumba sungai Asia Selatan).
Letak organ Melon dalam tengkorak Paus Sperma Kerdil (Kogia breviceps) (Kurzon/Wikimedia Commons) |
Cara kerja organ Melon ini, adalah dengan memancarkan suara gema dengan frekuansi ultrasonik ke arah yang diinginkan, lalu pantulan gema tersebut akan ditangkap oleh gendang telinga yang diteruskan ke otak. Dari pantulan gema tersebut, mamalia laut raksasa ini mampu membedakan halang-rintang di depannya, seperti bentang alam bawah laut, karang, bangkai kapal dan predator alami, berupa Hiu Putih dan Buaya Muara. Selain itu, pantulan gema juga bisa membantu mamalia laut ini untuk membedakan mangsa saat memburu. Kemampuan penglihatan ordo Cetacea sebenarnya relatif bagus, sehingga hanya menggunakan ekolokasi saat berada di kedalaman laut yang gelap dan berpasir. Sementara dalam berkomunikasi, anggota ordo Cetacea membedakan berdasarkan corak vokalisasi dan warna suara ultrasonik.
Cara kerja organ Melon dalam memancarkan gelombang ultrasonik (Wikimedia Commons) |
Kehadiran organ Melon ini terlacak pertama kali dari fosil Zygorhiza kochii, spesies Paus bergigi purba dari suku Basilosauridae, yang hidup sekitar 43.000.000-33.900.000 di Samudra Pasifik Purba yang sekarang menjadi Selandia Baru. Paus purba berukuran panjang 520 centimeter ini memiliki bentuk organ Melon dan gendang telinga, yang memiliki ciri antara lain pilin memanjang, pilin sekunder yang pendek, jari-jari gendang telinga yang lebar, tumpang tindih dan jamak, dirancang untuk memancarkan dan menangkap frekuensi rendah. Kemudian seiring waktu dalam tempo 32.000.000 tahun, organ Melon dan gendang telinga berevolusi menjadi semakin ringkas dan semakin efisien dalam melakukan ekolokasi, dari frekuensi rendah menjadi frekuensi tinggi dan menjadi semakin peka. Hal ini berdasarkan analisa tengkorak Paus purba yang dilakukan oleh Travis Park , Erich M. G. Fitzgerald & Alistair R. Evans dari Monash University, Australia, dalam jurnal berjudul "Ultrasonic hearing and echolocation in the earliest toothed whales" yang terbit pada tanggal 1 April 2016.
Tahapan evolusi organ Melon dan gendang telinga ordo Cetacea (Travis Park et al, 2016) |
Kemampuan mamalia laut ini pertama kali ditemukan oleh Leonardo Da Vinci pada tahun 1490, saat mendengarkan suara pekikan Lumba-lumba melalui tabung yang ditempelkan ke talinga saat s. Kemudian diterapkan dalam mercusuar menggunakan bel besar, menyusul kemudian di tahun 1912, purwarupa teknologi ekolokasi dibuat untuk melacak bangkai kapal Titanic, yang kemudian dipatenkan oleh Lewis Fry Richardson, ahli cuaca dari Inggris. Lalu, di tahun 1913, Alexander Behm, ahli fisika Jerman mematenkan echo-sounder. Teknologi ini kemudian dimutakhirkan dan dipasang ke kapal selam Kerajaan Inggris di tahun 1914 oleh Reginald Fessenden, ahli teknik Kanada. Selama Perang Dunia I dan II riset mengenai SONAR (Sound Navigation Ranging) semakin digiatkan dan kemampuannya ditingkatkan. Setelah Perang Dunia II usai, teknologi SONAR kemudian diadaptasi oleh masyarakat sipil dan dikembangkan dalam berbagai jenis.
VDS (Variable Depth Sonar) tipe DUBV43/DUBV43C yang terpasang di kapal fregat Perancis jenis F70 (Jean-Michel Roche/Wikimedia Commons) |
Di masa kini, SONAR digunakan untuk misi peperangan bawah laut, misi demolisi bawah laut, mencari ikan, pemetaan bawah laut hingga untuk kebutuhan pencarian dan pertolongan kecelakaan laut. Namun teknologi ini membawa dampak buruk bagi mamalia laut, karena dapat memusingkan pancaran gema yang diterima dan mengaburkan suara yang dipancarkan oleh kawanan mamalia laut saat berburu atau bermigrasi. Tentu, riset dibutuhkan agar tercipta SONAR yang ramah bagi mamalia laut namun tetap efektif dan efisien saat digunakan dalam misi khusus.
No comments:
Post a Comment
Semua komentar merupakan tanggungjawab komentator dan pengelola tidak bertanggungjawab atas tuntutan dengan UU ITE. Berkomentar dengan bijak dan sopan.