Saat ini, Indonesia sedang mengalami pergantian musim dari kemarau menjadi penghujan, karena transisi dari Muson Timur yang minim uap air dari Australia ke Muson Barat yang memiliki uap air melimpah dari Asia. Wilayah Asia Tenggara dilalui oleh angin muson karena letaknya di antara bejua Asia dan Australia serta diapit Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sehingga menciptakan fenomena Muson tahunan. Namun di masa Karbon hingga Yura, fenomena yang sama juga terjadi namun dalam skala yang lebih besar karena terjadi di megabenua purbna yaitu Pangea. yang dikenal dengan nama Megamuson Pangea (Pangean megamonsoon). Apa itu Pangean Megamonsoon? Berikut penjelasannya.
|
Awan hujan saat muson di Nagercoil, India (:PlaneMad/Wikimedia Commons) |
Megamuson Pangea (
Pangean Megamonsoon) adalah fenomena angin musiman yang terjadi di megabenua Pangea yang terjadi akibat perbedaan tekanan di belahan utara dan selatan yang membawa uap air dalam jumlah raksasa dari Samudera Tethys, Pertama kali dicetuskan oleh Judith Totman Parrish pada tahun 1973, diambil dari kata dalam bahasa Portugis onção, yang diserap dari bahasa Arab yaitu mawsim (موسم "musim"), kata dalam bahasa Yunani yaitu μέγας (mégas, “besar, agung, megah”), sementara untuk kata Pangaea atau Pangea diambil dari kata dalam bahasa Yunani yaitu pan (πᾶν, "semua, seluruh, menyatu") dan Gaia (Γαῖα, "bumi, tanah"). Temuan Megamuson Pangea ini didasarkan pada bukti lapisan sedimen gumuk pasir (loess), batubara dan sisa tanah pada fosil dari jangka waktu Karbon hingga Jurassic, menggunakan metode penelitian Lithostratigrafi dan Biostratigrafi dalam kecabangan ilmu Paleoklimatologi.
|
Mergamuson Pangea, muson raksasa dari Pangea (Zhiwei Zeng dkk, 2019) |
Berdasarkan penelitian
J. E. Kutzbach dan R. G. Gallimore (1989), Megamuson memiliki kesamaan dengan Muson Asia Tenggara, dimana saat aliran angin bertiup saat matahari berada di belahan bumi utara, sehingga menyebabkan benua Laurasia mengalami musim dingin, sehingga memiliki tekanan maksimum mencapai sekitar 36 milibar dan Gondwana lebih panas, sehingga memiliki tekanan minimum mencapai sekitar 25 milibar. Angin ini bersifat kering yang mengakibatkan wilayah khatulistiwa di Pangea mengalami musim kering/kemarau. Sementara saat sebaliknya, yaitu Gondwana mengalami musim dingin dan Laurasia mengalami musim panas, maka angin berhemnus dari belahan selatan ke belahan utara membawa uap air yang melimpah dari Smaudera Tethys, sehingga menyebabkan wilayah khatulistiwa di Pangea mengalami hujan dengan curah hujan rata-rata mencapai 1000 milimeter/hari, jauh lebih tinggi dari curah hujan rata-rata masa kini yaitu sekitar 715-990 milimeter/hari. Diperkirakan terjadi secara periodik selama 6 bulan dan tiap bioma memiliki curah hujan melebihi rata-rata Megamuson Pangea, terutama di bioma hutan hujan tropis. Apalagi jika terjadi Siklon Tropis di kawasan kahtulistiwa Pangea.
|
Illustrasi tercipatnay Megamuson Pangea, (A) benua Pangea dan Samudera Tethys, (B) hembusan angin muson dari Samudera Tethys (C) kadar curah hujan, (D) Pangea saat musim panas dan (E) aliran angin permukaan (Pinxian Wang, 2014) |
Awal kemunculan Megamuson Pangea bisa dilacak dati temuan fosil batubara pada masa Karbon, yang ditemukan di lapisan deposit gumuk pasir, karena tingginya kadar oksigen saat itu sehingga membuat kebakaran hebat ketika terjadi angin kencang sebelum hujan. Kemudian di masa Permian, kehadiran Megamuson Pangea membuat keragaman spesies hewan purba di daratan daerah sekitar khatulistiwa, namun berubah saat terjadi Letusan Trappa Siberia pada 250.000.000 tahun yang lalu yang memuntahkan sekitar 4.000.000 kilometer kubik material kubik yang melanda kawasan seluas 2.000.000 kilometer persegi menciptakan Efek Rumah Kaca ketika masa Triassik, puncaknya pada Peristiwa Pluvial Carnian (
Carnian Pluvial Event) yang terjadi pada 230.000.000 tahun lalu, yaitu curah hujan naik menjadi 1400 milimeter per hari yang terjadi selama 2.000.000 tahun. Kemudian sejak memasuki masa Jurasssik ketika Pangea mulai berpencar, Megamuson Pangea perlahan menjadi Muson modern yang kita kenal di masa kini. Salah satu peristiwa paleoklimatologi yang signifikan pada masa Mezosoikum yang membuat dinosaurus menjadi beragam jenis.
|
Evolusi suhu permukaan Bumi dan evolusi iklim Bumi (Glen Fergus/Wikimedia Commons) |
Hingga sekarang, para ilmuwan paleoklimatologi masih meneliti tentang Megamuson Pangea yang diperkirakan menjadi penyebab kawasan khatulistiwa di Pangea (kini Amerika Utara dan Afrika) memiliki keanekaragaman dinosaurus dan makhluk purba lainnya, mirip seperti kondisi iklim masa kini yang membuat keanekaragaman hayati di kawasan yang mengalami angin muson seperti Indonesia, India, Afrika dan Brazil. Tentu dengan mempelajari iklim purba, kita bisa mempelajari teknik adaptasi, seleksi alam dan evolusi hewan purba yang mengalami perubahan iklim.
No comments:
Post a Comment
Semua komentar merupakan tanggungjawab komentator dan pengelola tidak bertanggungjawab atas tuntutan dengan UU ITE. Berkomentar dengan bijak dan sopan.