Bagi pembaca yang suka membaca mengenai dunia kriptozoologi melalui literatur dan media apapun, pasti pernah mendengar kisah mengenai Pohon Yateveo, yang suka memakan manusia dan hidup di Madagaskar. Pohon Yateveo ini dikenal juga sebagai Pohon Pemakan Manusia asal Madagaskar, yang hidup berdampingan dengan Suku Mkodo, sebuah suku terasing di pulau lemur tersebut. Namun benarkah Pohon Yateveo ini ada? Berikut ulasannya.
Ilustrasi Pohon Yateveo dalam buku Sea and Land (1887) (Armand Welcker/Wikimedia Commons) |
Desas-desus mengenai Pohon Yateveo pertama kali muncul dari artikel karya Edmund Spencer yang mengirimnya ke koran New York World pada 26 April 1874, yang kemudian diterbitkan dalam kolom berita mingguan, dua hari kemudian. Dalam artikel yang dimuat dalam New York World, diceritakan Karl Leche, penjelajah asal Jerman, bersama Hendrick, kawan setianya dan orang asli Mkodo, sedang melakukan penjelajahan di pedalaman Madagaskar untuk melihat suku Mkodo melakukan ritual pengorbanan manusia. Saat sudah tiba di pemukiman suku Mkodo, kedua penjelajah tersebut melihat pohon mirip nanas dengan tinggi 2 meter (8 kaki) dengan delapan daun pelepah sepanjang 3-4 meter (11-12 kaki), memiliki batang sekeras besi dengan sulur yang bergerak layaknya ulat kelaparan dengan ujung pohon terdapat batang menjulang seperti kail dan terdapat bunga yang mengeluarkan aroma manis. Setelah mengamati pohon tersebut, mereka melihat Suku Mkodo mendorong seorang gadis kearah pohon itu, dimana gadis itu langsung memanjat pohon dan meminum air dari bunga pohon itu, yang langsung pingsan dan pelepah pohon itu melipat untuk menelan gadis tersebut. Keesokan paginya, mereka menemukan tengkorak di sekitar pohon dan pohon tersebut sudah mekar kembali.
Kehebohan cerita tersebut kemudian ditambah dengan munculnya buku Sea and Land karya J. W. Buel pada tahun 1887, yang menceritakan penjelajahannya menemukan pohon aneh dengan sisik seperti ular dan batang sekeras besi, memiliki sulur yang bergerak layaknya tentakel gurita, yang sedang melahap seseorang dari suku Mkodo, yang memanggilnya dengan sebutan Yateveo, dari bahasa lokal yang berarti "sampai jumpa". Kehebohan mengenai Pohon Yateveo ini mendunia hingga masuk dalam koran South Australian Register dan menjadi perhatian Chase Osborn, Gubernur Michigan dalam buku berjudul Madagascar: Land of the Man-eating Tree pada tahun 1924.
Namun ternyata, pohon Yateveo tak pernah ada dan memang tidak pernah ada, karena dalam investasi yang dilakukan oleh Willy Ley, penulis buku Salamanders and other Wonders pada tahun 1955, yang menemukan fakta bahwa tidak pernah ada penjelajah bernama Karl Leche dalam basis data milik Pemerintah Jerman saat itu, begitu juga suku Mkodo tidak pernah ada dan dikenal di Madagaskar dan Afrika. Tentu saja, dalam ribuan penjelajahan yang dilakukan oleh para ilmuwan dan petualang tidak pernah menemukan Pohon Yateveo. Jika memang ada, pasti ada spesimen yang dibawa keluar dan diteliti lebih jauh di Jerman atau Inggris, seperti penemuan Kantong Semar di Kinabalu dan Semak Venus di pesisir timur Amerika.
Selain itu, pohon memiliki morfologi berbeda dengan tanaman berpembuluh, karena terdapat batang berkambium dan getah, yang pasti tumbuh di kawasan yang memiliki konsentrasi air yang cukup banyak dengan unsur hara yang memadai. Tentu tidak bisa menjadikan sebuah pohon menjadi karnivora secara mendadak, karena proses evolusi membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan juta tahun. Pasti ada fosil pohon karnivora bila benar ada, dengan usia fosil diatas 11.000 tahun. Bisa disimpulkan bila kisah Pohon Yateveo adalah kabar bohong atau hoax,
No comments:
Post a Comment
Semua komentar merupakan tanggungjawab komentator dan pengelola tidak bertanggungjawab atas tuntutan dengan UU ITE. Berkomentar dengan bijak dan sopan.