Tuesday, August 27, 2019

Amukan Krakatau 1883

Pada bulan Agustus, tidak hanya letusan Vesuvius pada tanggal 24 Agustus 79 Masehi di Naples, Italia, yang diperingati sebagai letusan terdahsyat dalam sejarah Eropa. Namun juga diperingati letusan Krakatu pada tanggal 27 Agustus 1883 di Selat Sunda, Hindia Belanda (sekarang Indonesia) sebagai salah satu terdahsyat di abad modern, melebihi Vesuvius. Bahkan kedahsyatan letusan Krakatau pada tahun 1883 tersiar cepat ke seluruh penjuru dunia berkat teknologi telegraf elektronik yang berbasis kabel bawah laut. Letusan Krakatau 1993 juga me-revolusi dan memperbarui ilmu vulkanologi yang digunakan saat ini.

Illustrasi letusan Krakatau 1883
(Parker & Coward, Britain/Wikimedia Commons)
Setelah tertidur lebih dari 1300 tahun, tahapan erupsi Krakatau dimulai dari gemuruh dan getaran intensif pada tahun 1882, hingga membuat Kerajaan Belanda mengutus Roger Veerbek, ahli geologi, untuk mengamati, memantau dan melaporkan aktivitas gunung api di Selat Sunda tersebut ke Kerajaan Belanda dan Pemerintah Hindia Belanda. Dimulai pada tanggal 20 Mei 1883, puncak Perboewatan di gunung Krakatau meletus freatik dengan ketinggian kolom abu mencapai 6 kilometer dan suara letusannya terdengar hingga Batavia (sekarang Jakarta) sejauh 160 kilometer. Kemudian aktivitas vulkanik Krakatau mereda di akhir Mei 1883. Kemudian erupsi Krakatau muncul lagi pada tanggal 16-24 Juni 1883, berasal dari terbentuknya kawah baru di puncak Danan dan Perboewatan. Kemudian pada tanggal 11 Agustus 1883, Kapten  H. J. G. Ferzenaar, ahli topografi Belanda mengunjungi pulau Krakatau saat terjadi tiga letusan freatomagmatik Krakatau dari puncak Danan yang mengeluarkan abu vulkanik setebal 50 centimeter. Ironisnya, tanpa mempedulikan bahaya erupsi, kondisi Krakatau malah dimanfaatkan para pengusaha Belanda maupun Pribumi untuk melakukan tur wisata menggunakan kapal.

Peta Kepulauan Krakatau dan tiga puncak utama Krakatau, 1883
(ChrisDHDR/Wikimedia Commons)
Pada tanggal 25 Agustus 1883, Krakatau meletus intensif tanpa henti seharian. Kemudian pada pukul 13.00, tanggal 26 Agustus 1883, Krakatau memasuki fase magmatik. Menyusul pada pukul 14.00, kolom abu vulkanik muncul dari Krakatau setinggi 27 kilometer, dan kapal yang beroperasi dalam radius 20 kilometer dari Krakatau melaporkan hujan abu dengan ketebalan 10 centimeter menghujani dek kapal. Menyusul kemudian, pada pukul 18.00-19.00, tsunami kecil setinggi menghantam pesisir Selat Sunda dalam radius 40 kilometer dari puncak Krakatau. Tidak diketahui pasti berapa jumlah korban gelombang pertama letusan Krakatau ini. Kapal di sekitar Kepulauan Krakatau merasakan hujan abu panas yang lebat, aroma gas belerang yang menyengat dan Bulan berwarna biru saat malam hari. Sementara penduduk pesisir Selat Sunda menemukan banyak batu apung yang terbawa menuju pantai, ukurannya sebesar telapak tangan orang dewasa. Banyaknya ikan dan batu apung yang terdampar membuat masyarakat pribumi yang belum terdidik berbondong-bondong menuju pantai, tanpa menghiraukan bencana yang mengintai sesudahnya.

Rupa Kepulauan Krakatau, sebelum dan sesudah letusan 1883
(Morn/Wikimedia Commons)
Puncaknya pada tanggal 27 Agustus 1883, tercatat ada empar letusan yang menjadi letusan utama Krakatau, yaitu pada pukul 05.30, puncak Perboewatan meletus dan menyebabkan tsunami setinggi 30 meter yang menghantam pelabuhan dan pesisir Teluk Betung (sekarang Bandar Lampung). Menyusul kemudian pada pukul 06.44, puncak Danan meletus dan menyebabkan tsunami yang menghantam di sisi barat dan timur Krakatau. Kemudian pada letusan ketiga, pukul 10.02, terdengar sangat keras hingga sejauh 3.110 kilometer di Perth, Australia dan 4.800 kilometer di Pulau Rodriguez, dekat Mauritius, Afrika. Letusan puncak Rakata yang menjadi puncak letusan Krakatau terjadi pada pukul 10,41, yang meruntuhkan tubuh gunung tersebut, hingga menciptakan tsunami setinggi 46 meter, yang menghantam pesisir Selat Sunda, disertai dengan kolom abu setinggi 36 kilometer membuat langit gelap hingga radius 244 kilometer dari puncak Krakatau dan awan panas yang mengarah ke Katimbang (sekarang Rajabasa, Lampung) sejauh 30 kilometer. Bahkan efek tidal tsunami Krakatau 1883 hingga sampai ke Selat Inggris di benua Eropa. Letusan Krakatau berakhir pada tanggal 28 Agustus 1883, hanya memuntahkan lumpur hingga Oktober 1883. 

Lukisan langit jingga di Eropa, 1888
(Houghton Library/Wikimedia Commons)
Berdasarkan catatan Roger Veerbek dan diary para penyintas bencana tersebut, para ahli vulkanologi memperkirakan letusan Krakatau 1883 bertipe Ultra Plinian, memiliki skala VEI 6, dengan daya ledakan setara 200 megaton TNT atau 1.000.000 kali lipat bom Hiroshima-Nagasaki atau empat kali lipat Tsar Bomba. Suara letusan Krakatau 1883 diperkitakan mencapai 180 desibel dalam jarak 160 kilometer dan 310 desibel dalam jarak 5000 kilometer membuat tuli siapapun yang ada dalam jarak 16 kilometer dan pelaut dalam jarak 64 kilometer dari puncak Krakatau. Gelombang tekanan gas yang tercatat oleh gasometer di Batavia, sejauh 160 kilometer dari puncak Krakatau mencapai angka 8,5 kilopascals, hembusan anginnya mencapai kecepatan 1.086 kilometer/jam (675 meter/jam). Barometer seluruh dunia mencatat kenaikan tekanan udara sebesar tujuh kali lipat selama lima hari periode erupsi, atau empat kali bolak-balik dari dan ke Krakatau. Memuntahkan 20.000.000 material vulkanik per menit hingga mencapai ketinggian 80 kilometer dan menurunkan suhu hingga 1.2°C selaam lima tahun. Hanya menyisakan 30% sisa gunung Krakatau berwujud kaldera bawah air dengan timbunan material vulkanik di dasar laut Selat Sunda mencapai 18–21 kilometer kubik menyebar dengan luas mencapai 1.100.000 kilometer persegi pada kedalaman sekitar 30–40 meter. Salah satu letusan gunung api terdahsyat yang tercatat di abad modern. Menjadi inspirasi karya seni seperti lukisan The Scream karya Edvard Munch yang dilukis pada tahun 1883-1884 saat langit Eropa berwarna jingga.

Lukisan The Scream, 1893
(National Gallery of Norway/Wikimedia Commons)
Pemerintah Hindia Belanda mencatat korban letusan Krakatau mencapai 36.417-36.600 jiwa,  termasuk 1000 jiwa di Katimbang dan 3000 jiwa di Pulau Sebesi, Verlaten (Sertung) & Lang (Panjang) yang tidak sempat melarikan diri. Merupakan bencana alam dengan jumlah korban jiwa terbanyak yang tercatat resmi di Indonesia, sebelum Gempa-Tsunami Aceh pada tahun 2004. Letusan Krakatau 1883 memukul telak perekonomian Hindia Belanda selama lima tahun, akibat kegagalan panen dan infrastruktur yang hancur. Memicu pemberontakan petani Banten pada tahun 1888. Setelah tertidur selama 40 tahun lebih, pada tahun 1927, muncul letusan lumpur dari kaldera Krakatau, yang kemudian tumbuh menjadi Gunung Rakata atau Anak Krakatau, yang memiliki kecepatan tumbuh 50 centimeter per tahun. Kini pada tahun 2019 atau 136 tahun letusan Krakatau 1883, Gunung Anak Krakatau memiliki ketinggian 813 meter di atas permukaan laut.

No comments:

Post a Comment

Semua komentar merupakan tanggungjawab komentator dan pengelola tidak bertanggungjawab atas tuntutan dengan UU ITE. Berkomentar dengan bijak dan sopan.