Dalam letusan gunung api, memiliki dua macam bentuk yaitu Eksplosif berupa ledakan yang besar bersamaan dengan keluarnya material vulkanik dalam satu waktu, dan Efusif berupa lelehan material vulkanik yang keluar terus menerus dari dapur magma dalam jangka waktu yang lama, bahkan hingga ribuan tahun. Sementara berdasarkan proses muntahan material vulkanik dibagi beberapa tipe erupsi. Berikut penjelasannya:
Hawaiian, merupakan tipe letusan freatik yang relatif kecil tapi memiliki intensitas tinggi, bersifat Efusif (lelehan) dengan skala VEI berada pada skala 1-2, akibat material letusan yang terlalu cair dan menyebar ke segala arah dengan ketebalan magma sekitar 2-20 meter disertai hembusan gas beracun, karena bentuk gunung api berupa perisai dengan konsentrasi gas belerang dioksida dan karbon dioksida. Penamaaannya diambil dari tipe letusan yang terjadi di Kepulauan Hawaii, Amerika Serikat. Dalam budaya suku asli Hawaii menganggap letusan efusif seperti ini sebagai rambut, kumis dan air mata Pele, dewa api. Gunung api yang memiliki tipe letusan Hawaiian antara lain letusan kawah Puʻu ʻŌʻō di gunung Kilauea (1983 & 2018), Gunung Etna di Italia (2001, 2004–2005, 2008, 2012, 2018), kawah Sileri di Dieng, Indonesia (1944 & 2010), kawah Sinila di Dieng, Indoneia (1979) dan Gunung Mihara di Jepang (1986).
Peléan, merupakan tipe letusan magmatik yang berkekuatan tinggi, berada dalam skala VEI 4-5, bersifat Eksplosif (ledakan) akibat kawah tersumbat material letusan lama yang membentuk kubah lava dan mendapatkan tekanan tinggi dari material letusan baru yang mendesak dari dapur magma, mampu mengeluarkan kolom abu vulkanik setinggi 1000 meter disertai awan panas letusan berkecepatan 150 kilometer per jam saat menuruni lereng sejauh 10-15 kilometer. Bila badan gunung api rapuh maka juga akan menciptakan longsoran vulkanik yang berbahaya bagi penduduk yang berada di kawasan Zona Bahaya. Mampu mempengaruhi cuaca lokal selama beberapa hari dan minggu, tergantung lama letusan. Diambil dari nama Gunung Pelée, di Martinique, kawasan jajahan Perancis. Gunung api yang memiliki tipe letusan Peléan, antara lain Gunung Pelée di Martinique (1902), Gunung Mayon di Filipina (1814), Gunung Lamington di Papua Nugini (1951), Gunung Merapi di Indonesia (2010) dan Gunung Kelud di Indonesia (2014).
Surtseyan, merupakan letusan freatomagmatik yang berkeuatan sedang, berada dalam skala VEI 2-3, bersifat Efusif (lelehan) dan Eksplosif (ledakan) akibat mulut kawah berada dibawah perairan dangkal atau danau vulkanik yang mendapatkan tekanan tinggi dari konsentrasi gas dan material letusan baru yang berasal dari dapur magma, mengeluarkan material yang langsung membeku dan membentuk daratan baru diatas gunung api bawah air, karena terjadi pencampuran antara material vulkanik dengan air tawar/laut. Biasanya letusan tipe ini mengawali terciptanya pulau baru yang berada diatas kawasan pertemuan lempeng benua dan kawasan patahan lempeng, karena berlangsung secara berkelanjutan, sehingga mengganggu lalu lintas pelayaran. Penamaannya diambil dari letusan gunung Surtsey yang terjadi pada tahun 1963. Gunung api yang memiliki tipe Surtseyan antara lain Gunung Tarawera di Selandia Baru (1886), Gunung Surtsey di Islandia (1963), Gunung Ukinrek Maars di Alaska (1977), Gunung Capelinhos di Azores (1957), Gunung Ferdinandea di Laut Tengah (1831), dan Gunung Hunga Tonga di Tonga (2009).
Submarin, merupaakn letusan freatomagmatik yang berkekuatan kecil hingga sedang, berada dalam skala VEI 1-2, akibat aliran material vulkanik cair yang mengalir keluar dari kawasan patahan lempeng benua dan kawasan pertemuan lempeng benua, berada di kedalaman lebih dari 2000 meter dibawah permukaan laut. Terlacak dan diteliti sejak tahun 1990, dimana letusan bawah air menyumbang 75% letusan vulkanik di dunia. Tidak berbahaya bagi manusia karena terjadi jauh ditengah dan dibawah samudera. Berperan dalam membentuk Dangkalan Benua dan Paparan Benua, yang membentuk lapisan 2 centimeter per tahun di Pegunungan Tengah Atlantik dan 16 centimeter di Pegunungan Pasifik Timur. Diperkirakan terdapat 100.000 gunung api bawah laut yang tersebar di seluruh dunia, sementara yang sudah dilacak melalui operasi pemetaan bawah laut antara lain Gunung Lothi, Gunung Bowie, Gunung Davidson dan Gunung Axial di tengah lempeng Pasifik.
Subglasial, merupakan letusan freatomagmatik yang berkekuatan sedang hingga besar, berada dalam skala VEI 2-4, akibat aliran material vulkanik baru tersumbat material vulkanik lama dan lapisan es tebal, karena berada di lintang tinggi seperti di kawasan Kutub Utara dan Kutub Selatan. Selain menghasilkan kolom abu letusan dan awan panas juga menyebabkan banjir lumpur panas. Letusan subglasial jarang terdekteksi karena instrumen penelitian vulkanologi masih sulit menembus lapisan es tebal. Pertama kali dilaporkan oleh William Henry Mathews, ahli geologi Kanada saat mengamati Gunung Tuya Butte di British Columbia, Kanada pada tahun 1974. Banyak terjadi pada Zaman Es dan planet Mars, sementara letusan subglasial yang sudah dilacak antara lain Mauna Kea di Hawaii (10.000 SM), Pegunungan Hudson di Antartika (10.000-2000 SM), dan Gunung Vatnajökull di Islandia (1996).
Merapi, merupakan letusan magmatik berkekuatan tinggi, berada dalam skala VEI 4-5, yang terjadi akibat aliran magma kental yang mendobrak kubah lava yang merupakan hasil letusan lama yang menyumbat mulut kawah. Kubah lava tersebut sangat rapuh sehingga sering menjadi Awan Panas Guguran (APG) yang mampu menjangkau radius 2-3 kilometer dari puncak. Saat letusan mampu menghasilkan kolom abu vulkanik setinggi lebih dari 3000 kilometer disertai Awan Panas Letusan (APL) yang mampu menjangkau jarak sejauh 10-15 kilometer dari puncak. Awan Panas Letusan (APL) dan Awan Panas Guguran (APG) dari Gunung Merapi disebut sebagai Wedhus Gembel oleh penduduk setempat. Karakteristik unik ini hanya ditemukan di Gunung Merapi, Jawa Tengah, Indonesia, yang meletus pada tahun 1006, 1786, 1822, 1872, 1930 dan 2006, dengan interval letusan kecil sekitar 4 tahun sekali dan letusan besar tiap 6 tahun sekali.
Dengan kita mengenali karakteristik, tipe dan sejarah letusan gunung api, maka akan siap menghadapi bencana geologi ini, sehingga bisa melakukan mitigasi swadaya dan meminimalisir korban jiwa akibat letusan gunung api. Indonesia merupakan negara yang berada di kawasan Cincin Api Pasifik dan kawasan pertemuan tiga lempeng benua, yaitu Eurasia, Indo-Australia & Pasifik, dengan jumlah gunung api sekitar 1400 buah di seluruh Indonesia, sehingga diperlukan pendidikan dan pelatihan mitigasi bencana, diawali dengan pengenalan karakteristik gunung api.
Gambar kolase letusan gunung api (Wikimedia Commons) |
Bagan letusan tipe Plinian, 1.Kolom abu 2. Leher magma 3. Hujan abu vulkanik 4.Lapisan lava dan abu 5. Stratum 6. Dapur magma (Wikimedia Commons) |
Bagan letusan tipe Surtseyan, 1. Awan uap air 2. Abu bertekanan tinggi 3. Mulut kawah 4. Permukaan air 5. Lapsian lava dan abu 6. Stratum 7. Leher Magma 8. Dapur Magma 9. Dike (Wikimedia Commons) |
Bagan letusan bawah laut, 1. Awan uap air 2. Permukaan air 3. Stratum 4. Aliran lava pijar 5. Leher Magma 6. Dapur Magma 7. Dike 8. Lava bantal (Wikimedia Commons) |
Bagan letusan bawah es, 1. Awan uap air 2. Danau kawah 3. lapisan es 4. Lapisan lava dan abu 5. Stratum 6. Lava bantal 7. Leher magma 8. Dapur magma 9. Dike (Wikimedia Commons) |
Letusan tipe Merapi (Zenius) |
No comments:
Post a Comment
Semua komentar merupakan tanggungjawab komentator dan pengelola tidak bertanggungjawab atas tuntutan dengan UU ITE. Berkomentar dengan bijak dan sopan.